PALANGKA RAYA – Kasus korupsi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kotawaringin Timur (Kotim) memasuki babak baru. Meski vonis hakim telah diputus terhadap dua terdakwa, Ahyar Umar dan Bani Purwoko,SE.
Terdakwa Ahyar Umar divonis selama dua tahun penjara dengan uang pengganti Rp 826,44 .970 dan denda sebesar Rp 50 juta subsidair tiga bulan penjara. Jika tidak mampu membayar uang pengganti, maka yang bersangkutan hukumannya akan ditambah satu tahun penjara.
Sedangkan, terdakwa Bani Purwoko,SE, menerima vonis dari majelis hakim di Pengadilan Tipikor Palangka Raya, yakni satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan penjara.
Sebelumnya, kedua terdakwa dituntut selama sembilan tahun dengan uang pengganti untuk terdakwa Ahyar Umar sebesar Rp. 10.383.135,474. Apabila uang pengganti kerugian keuangan negara tersebut tidak dibayar lunas oleh terdakwa Ahyar Umar, maka seluruh harta bendanya wajib disita untuk menggantikan kerugian keuangan negara. Apabila tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk menutupi uang pengganti, maka dipidana dengan pidana kurungan selama empat tahun tiga bulan.
Sedangkan terdakwa Bani Purwoko dituntut JPU selama sembilan tahun dengan denda Rp 500 juta subsidair enam bulan penjara tanpa uang pengganti.
Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Palangka Raya ini dinilai oleh jaksa penuntut umum (JPU) masih terlalu ringan. Olehnya, pihak JPU menyatakan akan melakukan banding atas putusan hakim tersebut.
Tidak hanya JPU. Ahyar Umar melalui Kuasa Hukumnya, Pua Hardinata, SH, pun melakukan banding. Pua Hardinata mengatakan, pengajuan banding tersebut lantaran ada beberapa yang tidak sesuai dengan prinsip.
“Karena kami meminta agar kedua terdakwa divonis lepas dari tuntutan hukuman. Alasannya banding karena terkait dengan salah satu unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu dengan memperhatikan LHP Auditor,” terangnya.
Ia mengatakan, Kejati Kalteng No. ND-92/Q.27Hs.2/07/2024 tgl 09/7- 2024 yang diaudit oleh Tim Audit Kejati Kalteng sebenarnya bukan auditor yang mempunyai sertifikasi auditor.
“Kami butuh instrumen hukum yang jelas, kenapa tidak BPK, BPKP atau APIP untuk mengaudit, sedangkan kapasitas auditor mereka adalah tenaga fungsional atau tim yang di bawah Asisten Pengawasan Kejati lingkup tugasnya mengaudit secara internal, baik pembinaan aparatur maupun pengawasan di jajaran wilayah kerja Kejaksaan Tinggi se- Kalteng. Bukan untuk audit terhadap perhitungan kerugian keuangan negara yang bersifat eksternal.
Bahkan, lanjut Pua, LHP auditor Kejati Kalteng dinilai oleh ahli Alpian, ST, MT, CprA dari Inspektorat Provinsi Kalteng dan Tukima, SE, MM Ahli dari Kanwil Dirjen Perbendaharaan Negara Perwakilan Provinsi Kalteng sangat janggal dan tidak masuk akal.
“Karena keterangan ahli Alpian diperiksa penyidik Kejati dalam BAP tanggal 12 Juni 2024, tetapi surat perintah tugas dari Inspektor Provinsi Kalteng No. 700/12/SPT/IRBANSUS /INSP tanggal 11 Juli 2024 dikuatkan dengan berita acara sumpah di hadapan penyidik tanggal 12 Juni 2024. Ini jangan main-main, ini di bawah sumpah. Alpian bukan ahli perhitungan keuangan negara, tetapi sarjana teknik yang tidak mengetahui metode dalam menghitung kerugian keuangan negara secara akuntansi bukan keahliannya yang dimintakan pendapatnya oleh JPU untuk menilai LHP Auditor KEJATI Kalteng NO. ND-92/Q.27Hs.2/07/2024 tanggal 09 Juli 2024,” terang Pua dalam rilisnya kepada awak media.
“Apakah objektif ahli bangunan gedung untuk menilai perhitungan kerugian keuangan negara dengan standar akuntansi, apakah kompetensi Alpian dibidang akuntansi sudah memahami dan memang tugasnya untuk menilai hasil auditor perhitungan keuangan negara. Kenapa tidak menghadirkan tim audit yang sudah tertera namanya dalam laporan perhitungan kerugian keuangan negara, daripada menghadirkan Alpian. Sehingga kami mempertanyakan persoalan auditor ini. Dan kami layangkan banding,” tegasnya. (cen)