NANGA BULIK – Kepala Desa Kinipan, Willem Hengki, turut menyoroti persoalan batas wilayah adat yang makin tak jelas etelah diterbitkannya Perbup Lamandau. Revisi perlu dilakukan agar pemetaan partisipatif tidak sia-sia.
Seperti yang disampaikan oleh perwakikan Dari Kemendagri, Cahya Arie Nugroho, yang menegaskan bahwa pemerintah tidak membentuk masyarakat hukum adat (MHA), melainkan mengakuinya.
Bahwa, mekanismenya adanya pengakuan diberikan setelah proses identifikasi, verifikasi, dan validasi oleh panitia MHA di tingkat kecamatan.
Sementara itu, Aldya Saputra dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyatakan perubahan fungsi lahan di wilayah adat, seperti konsesi, tidak menghalangi pengakuan wilayah adat tersebut.
Komunitas adat menyambut positif FGD ini dan berharap Pemkab Lamandau segera mempercepat proses identifikasi hingga penetapan pengakuan MHA di daerah mereka.
Menanggapi Hal itu, Pemerintah Kabupaten Lamandau mendorong percepatan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) Dayak.
Bupati Lamandau Rizky Aditya Putra menegaskan komitmen ini dalam sambutan tertulis yang dibacakan Wakil Bupati Abdul Hamid dalam diskusi terfokus (FGD) di Aula BPKAD Nanga Bulik, kemarin
Meski Provinsi Kalteng sudah memiliki Perda Nomor 2 Tahun 2024 dan Lamandau punya Perda Nomor 3 Tahun 2023 tentang pedoman pengakuan MHA, hingga kini belum ada satu pun komunitas adat yang diakui secara resmi.
“Ini perlu menjadi perhatian serius bagi kita semua. Jangan sampai publik mengira kita tidak menaruh perhatian terhadap isu masyarakat hukum adat,” kata Rizky.
Menurut Rizky, komunitas adat tersebar hampir di seluruh wilayah Lamandau, terutama di daerah hulu seperti Delang, Batangkawa, dan Belantikan. Mereka dinilai memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian alam dan melestarikan tradisi leluhur.
“Saya mengajak semua pihak lebih serius mempercepat pengakuan MHA. Kami berkomitmen mendorong kebijakan inklusif demi pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial,” ujarnya.
FGD ini dihadiri para kepala desa, mantir adat, demang, komunitas adat, serta perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, BRWA, AMAN, WALHI, Save Our Borneo, dan lembaga pendamping lainnya.
Disisi lain Direktur YIHUI, Safrudin Mahendra, mengungkapkan usulan pengakuan Masyarakat Adat Laman Kinipan dan Kubung yang diajukan sejak lama belum mendapat respons positif dari Pemkab.
“Permasalahan utamanya ada di batas wilayah adat. Bahkan wilayah Kubung berada di dua provinsi, yang sampai saat ini belum ada payung hukumnya,” ujar Safrudin. (han/rdo)