Isen MulangKalimantan Tengah

Tidak Terlibat dalam Pemberian Sanksi kepada Konten Kreator

77
×

Tidak Terlibat dalam Pemberian Sanksi kepada Konten Kreator

Sebarkan artikel ini
Tidak Terlibat dalam Pemberian Sanksi kepada Konten Kreator
DIALOG: Gubernur Kalteng, Agustiar Sabran saat berdialog dengan insan pers, Sabtu (3/5). (Foto: IFA/PE)

PALANGKA RAYA – Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Agustiar Sabran akhirnya angkat bicara mengenai polemik yang melibatkan seorang konten kreator lokal yang dijatuhi sanksi adat berupa denda sebesar Rp 20 juta. 

Sanksi ini dikenakan setelah konten kreator tersebut dinilai melanggar nilai-nilai adat dan norma yang berlaku di masyarakat setempat.

Dalam keterangannya kepada awak media, Sabtu (3/5), Gubernur menegaskan, bahwa dirinya tidak terlibat langsung dalam proses pemberian sanksi tersebut. Ia menganggap bahwa situasi seperti ini adalah bagian dari dinamika sosial yang wajar terjadi di tengah masyarakat yang majemuk.

“Itu kan bukan saya, artinya saya sudah mengatakan ya hal-hal begitu wajar. Namanya anak ini kan banyak, ada begini ada begitu,” ujar Agustiar.

Ia juga menyinggung, bahwa reaksi keras terhadap konten kreator tersebut bisa saja dipengaruhi oleh suasana politik yang masih hangat pasca pemilihan kepala daerah (pilkada).

Menurutnya, sebagian pihak mungkin masih belum bisa menerima hasil pilkada dan mengekspresikan kekecewaan mereka melalui isu-isu seperti ini.

“Sekarang saya rasa wajar-wajar saja. Itu pun ada yang tidak suka, itu mungkin pasca masih pilkada, ada yang masih belum menerima,” ujarnya.

Terkait dengan pemberian sanksi adat, Agustiar menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk pengingat dari masyarakat terhadap pentingnya menjaga nilai-nilai dan norma lokal. 

Ia menekankan, bahwa Indonesia bukanlah negara liberal yang membebaskan segala bentuk ekspresi tanpa batas, tetapi sebuah negara demokratis yang tetap memiliki aturan dan rambu-rambu sosial.

“Terus yang ada pun hukum adat itu, saya rasa wajar-wajar juga karena mereka merasa menyayangkan. Kalau kita negara luar, tidak negara demokrasi. Contoh di kita demokrasi, ada namanya Pancasila, ada namanya Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.

Menurut Agustiar, hukum adat tetap memiliki peran penting sebagai mekanisme kontrol sosial yang berfungsi menjaga harmoni masyarakat. Ia membandingkan situasi ini dengan negara-negara liberal di luar negeri yang dianggap terlalu bebas dan minim pengawasan terhadap norma-norma sosial.

“Kalau luar negeri kan liberal, bebas. Nah, kalau enggak ada rambu-rambunya repot kan gitu. Mungkin karena enggak ada rambu-rambu itu, diingatkan oleh adat. Saya rasa wajar-wajar aja,” tutupnya. (ifa/abe)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *