POLITIK uang atau money politics yang makin merebak, tidak lagi sehat dan mencederai demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang mendiskualifikasi dua pasangan calon dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara dan meminta menggelar pemungutan suara ulang dengan calon yang baru adalah kejadian memalukan bagi Kalimantan Tengah, Bumi Pancasila, Bumi Tambun Bungai.
Hal itu disampaikan Gubernur Kalteng dua periode (2005-2010 dan 2010-2015), Agustin Teras Narang, kepada PE yang juga disampaikan terbuka dalalm akun pribadinya di media sosial, Kamis (15/5/2025).
“Saya secara pribadi, merasakan keprihatinan mendalam, membaca informasi seputar putusan MK ini. Politik uang dalam pemilihan bupati di Barito Utara ini mengagetkan bukan hanya kita di daerah, tapi juga warga republik. Pengakuan adanya warga yang dibayar belasan hingga puluhan juta untuk suara, sudah menunjukkan keparahan pemahaman kita di akar rumput dalam berdemokrasi,” kata Teras Narang, kemarin.
Mantan anggota DPR RI (1999-2005) itu menegaskan, peristiwa ini harus jadi perhatian dan evaluasi serius bagi pemangku kepentingan dalam mendesain model demokrasi yang lebih baik dan lebih sehat.
Perangkat-perangkat kerja dalam gelaran demokrasi mulai dari partai politik, Komisi Pemilihan Umum hingga Badan Pengawas Pemilu Daerah termasuk kontestan, faktanya sulit berkomitmen mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan bersih,” ungkap Teras yang saat ini juga sebagai anggota DPD RI asal Kalteng itu.
Pada Pemilihan Bupati Barito Utara yang akan diulang sesuai putusan MK serta pemilihan kepala daerah yang akan datang, Teras berharap, agar praktik politik uang ini tidak terjadi lagi. Pendidikan politik di masyarakat, oleh tokoh masyarakat dan agama mesti ditingkatkan, agar kesadaran politik rakyat menjadi lebih baik. Integritas penyelenggara dan otoritas pengawas pemilu juga mesti diperkuat.
“Tak kalah penting, sanksi bagi calon termasuk partai pengusung dan pendukung mesti didesain lebih tegas lagi untuk mencegah praktik memalukan ini,” harapnya.
Bahkan bila diperlukan, tambah Teras, sanksi adat juga dapat diberlakukan bagi pihak-pihak yang terlibat, agar semangat belom bahadat dan falsafah huma betang tidak diabaikan begitu saja.
“Mari bersama membenahi pendidikan dan praktik berpolitik yang bermartabat di daerah kita. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi,” katanya. (ens)