Patung Ikan Jelawat, Ikon Kota Sampit
Di tepi Sungai Mentaya, berdiri sebuah patung besar berwarna merah menyala berbentuk ikan jelawat. Tak hanya menjadi penanda geografis, Tugu Ikan Jelawat kini menjadi denyut nadi baru Kota Sampit, sebagai tempat bernaungnya kenangan, identitas budaya, dan ruang hidup warganya.
APRI, SAMPIT
DIRESMIKAN pada 21 Februari 2015 oleh Bupati Kotawaringin Timur saat itu, Supian Hadi. Patung ini menandai momen penting dalam sejarah Kota Sampit, pesta makan ikan jelawat yang diikuti lebih dari 4.500 warga, mencatatkan rekor kebersamaan yang penuh makna.
Dibangun di kawasan strategis di Kecamatan Mentawa Baru Hulu, berdekatan dengan Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) dan Pelabuhan Habaring Hurung Sampit. Tugu Jelawat menjadi pemandangan pertama yang menyambut pendatang lewat jalur sungai.
Patung ini memang bukan sekadar karya arsitektur. Warna merahnya yang mencolok memberikan daya tarik visual. Namun yang lebih penting adalah pesan yang dibawa yaitu penghormatan terhadap kekayaan alam lokal dan upaya membangun identitas khas kota.
Ikan jelawat dipilih bukan tanpa alasan. Di masa lalu, Sungai Mentaya dikenal sebagai habitat utama ikan jelawat, salah satu ikan lokal yang paling diminati.
Menurut Masnah, Kepala Bidang Sejarah, Cagar Budaya dan Permuseuman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kotim, simbol ikan jelawat merepresentasikan akar sejarah masyarakat Sampit yang lekat dengan perikanan.
“Ikan jelawat ini dulunya begitu melimpah, dan sungai adalah sumber kehidupan kita. Tugu ini adalah pengingat akan itu. Kita juga ingin ikon ini bukan hanya jadi spot foto, tapi juga mengedukasi generasi muda tentang hubungan kita dengan sungai,” harap Masnah, Jumat (23/5/2025).
Kini, kawasan sekitar Tugu Jelawat telah menjadi ruang terbuka yang hidup. Anak-anak bermain, pedagang kaki lima menggelar dagangan, dan wisatawan singgah untuk berfoto dengan latar sungai dan patung merah raksasa.
Bagi warga Sampit, Tugu Jelawat adalah kebanggaan. Ia menjadi titik temu antara masa lalu dan masa depan, tempat kenangan dilestarikan dan harapan ditanam. “Kalau bicara Sampit, ya pasti orang ingat ikan jelawat. Dan sekarang, lewat tugu ini, kita punya cara untuk terus mengingat, sekaligus memperkenalkan kota kita ke orang luar,” kata Sinta, salah warga lokal yang sering ke Tugu Jelawat.
Sore itu, matahari mulai turun, langit berubah jingga, dan di bawahnya, siluet Tugu Jelawat berdiri tegar di tepi sungai. Angin membawa aroma air, suara kapal ferry bergaung lembut, dan anak-anak berlari di pelataran. Di tengah semuanya, patung ikan itu tetap diam dan menyimpan kisah sebuah kota, yang terus tumbuh tanpa melupakan asalnya. (pri/ens)