Feature

Simbol Persatuan, Sejarah dan Budaya Kalteng

84
×

Simbol Persatuan, Sejarah dan Budaya Kalteng

Sebarkan artikel ini
Betang Tumbang Gagu, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotim. FOTO IST

Menelusuri Jejak Peradaban Dayak di Betang Tumbang Gagu

Di tepian Sungai Antang Kalang, berdiri megah sebuah rumah panjang yang menyimpan jejak sejarah, budaya, dan peradaban Dayak Kalimantan Tengah bernama Betang Tumbang Gagu. Dibangun selama tujuh tahun sejak 1870, rumah ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, tapi juga simbol persatuan, identitas, dan sistem sosial masyarakat Dayak.

APRI, Sampit

BETANG Tumbang Gagu, yang juga dikenal sebagai Betang Antang Kalang, terletak di Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Awalnya dihuni oleh enam kepala keluarga. Diantaranya adalah Singa Jaya Antang, tokoh penting yang berasal dari Sungai Kahayan dan cucu dari Tamanggung Rawi.

Singa Jaya Antang tercatat sebagai tokoh Dayak yang ikut dalam Perjanjian Tumbang Anoi tahun 1894, peristiwa besar yang menyatukan suku-suku Dayak dalam komitmen damai dan mengakhiri tradisi ngayau (perburuan kepala).

Kini, lebih dari seabad berlalu, Betang Tumbang Gagu masih berdiri. Meski tak lagi sepenuhnya utuh. Di balik dinding kayu ulin yang mulai lapuk, tersimpan kisah-kisah kejayaan, harmoni, dan spiritualitas nenek moyang Dayak.

“Rumah betang ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah ingatan kolektif, warisan dari leluhur yang menggambarkan tata kehidupan masyarakat Dayak yang rukun, kolektif, dan spiritual,” ungkap Kepala Dinas Kebudayaa da Pariwisata Kotim, Bima Eka Wardana melalui Kepala Bidang Sejarah, Cagar Budaya dan Permuseuman Masnah, Jumat (30/5/2025).

Betang ini berukuran 58,7 meter panjang dan 26,4 meter lebar, ditopang oleh 256 tiang ulin dan tungket. Di dalamnya terdapat balai kandang, ruang tengah yang difungsikan untuk musyawarah adat, upacara tiwah, hingga kelahiran dan pengobatan. Enam bilik berjajar di kiri-kanan, masing-masing untuk para pendiri betang, dengan susunan yang mencerminkan hierarki sosial.

Yang tak kalah penting adalah dapur-dapur di bagian belakang. “Dulu setiap keluarga punya dapur sendiri. Tapi sekarang, hanya dua yang masih bisa digunakan. Yang lainnya sudah rusak atau roboh,” ujar juru pelihara Betang Tumbang Gagu, Mira Rindu saat dihubungi. Mira mengenal setiap sudut betang ini, termasuk kisah-kisah mistis dan ritual yang menyertainya.

Dalam tradisi Dayak Ngaju, pembangunan betang dimulai dengan upacara mampendeng, ritual sakral untuk memohon perlindungan roh leluhur. Sementara setelah betang selesai dibangun, dilakukan upacara lumpat huma saat pertama kali dihuni, sebagai wujud syukur dan permohonan berkah.

“Semua proses ada maknanya. Dari penempatan jihi, balai, sampai sapundu dan sandung, itu semua mencerminkan filosofi hidup Dayak yang sangat menghormati alam dan leluhur,” tambah Masnah.

Di halaman depan betang, berdiri lumbung (lepau), sapundu, sandung, dan tiang pantar. Keempatnya bukan sekadar ornamen, tapi bagian dari sistem spiritual Dayak. Sapundu adalah tiang untuk mengikat hewan kurban saat tiwah, sedangkan sandung digunakan untuk menyimpan tulang belulang leluhur. Tiang pantar yang menjulang menjadi simbol tangga roh menuju lewu tatau, alam keabadian.

Ukiran-ukiran di bagian atap, seperti motif burung tingang dan tetah (tangga terbalik), menjadi penghubung antara dunia atas dan bawah, serta perlambang kekuatan dan perlindungan. “Motif ini bukan sembarang hiasan. Setiap ukiran punya makna, baik itu spiritual maupun historis. Sayangnya, banyak yang sudah aus karena usia dan cuaca,” ujar Mira.

Material utama bangunan ini adalah kayu ulin yang disebut juga kayu besi. Tahan rayap, awet ratusan tahun, dan begitu keras sehingga sulit dipaku. “Dulu leluhur kita membangun betang ini dengan perhitungan yang cermat. Mereka tahu memilih bahan terbaik, tahu kapan harus mulai membangun, dan bagaimana menatanya agar selaras dengan alam,” jelas Masnah.

Saat ini, Betang Tumbang Gagu tak hanya menjadi cagar budaya, tapi juga simbol kekuatan identitas Dayak. Meski menghadapi ancaman waktu, alam, dan kurangnya perawatan, upaya pelestarian terus dilakukan, meski terbatas.

“Kami berharap, generasi muda tidak hanya mengenal betang dari buku sejarah, tapi juga mau datang, melihat, dan merasakan langsung semangat yang terkandung di dalamnya,” harap Masnah.

Betang Tumbang Gagu adalah monumen hidup yang tak hanya bercerita tentang masa lalu, tapi juga memberi arah bagi masa depan tentang pentingnya akar, tentang arti rumah, dan tentang kekuatan sebuah kebersamaan. (pri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *