Feature

Kalau Lupa Sejarah, Bisa Mengulang Luka yang Sama

567
×

Kalau Lupa Sejarah, Bisa Mengulang Luka yang Sama

Sebarkan artikel ini
KENANGAN: Tugu Perdamaian Sampit yang dikenal pula sebagai Bundaran Burung atau Bundaran Balanga di Jalan Jenderal Sudirman Km 3,2, Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. FOTO APRI/PE

Bundaran Balanga, Monumen Perdamaian Pascakonflik Sampit

Di tengah lalu lintas padat di simpang Jalan Jenderal Sudirman Km 3,2, berdiri tegak monumen yang menyimpan kisah luka dan harapan. Itulah Tugu Perdamaian Sampit, yang dikenal pula sebagai Bundaran Burung atau Bundaran Balanga. Bundaran itu bukan sekadar penanda jalan, tapi merupakan simbol perdamaian, pengingat tragedi, dan lambang rekonsiliasi antara

dua etnis besar di Kalimantan Tengah.

APRI, Sampit

TUGU ini diresmikan oleh Bupati Kotim masa itu, Supian Hadi pada Mei 2015. Dibangunnya tugu ini menjadi respons atas konflik kemanusiaan yang mengguncang Sampit pada tahun 2001. Bentrokan antara suku Dayak dan Madura kala itu menewaskan ratusan orang dan memaksa ribuan lainnya mengungsi.

Ketegangan sosial, persaingan ekonomi, dan gesekan budaya menjadi pemicu konflik yang berakhir tragis. Dari puing-puing tragedi inilah, semangat untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu mulai dibangun.

Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kotawaringin Timur, Gahara mengatakan, tugu ini mengenang bagaimana masyarakat perlahan bangkit dan merajut kembali simpul-simpul kerukunan yang sempat tercerai-berai.

“Tugu ini bukan hanya sekadar bangunan, tapi wujud komitmen bersama. Kami orang Dayak, ingin menunjukkan bahwa perdamaian adalah nilai luhur yang harus dirawat. Ini simbol bahwa kita belajar dari sejarah,” ujar Gahara, Senin (16/6/2025).

Awalnya, tugu tersebut hanya berupa monumen kayu dengan ukiran khas Dayak.

 Namun seiring waktu, diperkuat lagi dengan konstruksi beton tanpa menghapus unsur kayu asli di dalamnya.

Pada bagian tengah, berdiri sebuah tiang kayu yang diukir dengan motif Dayak, menjadi saksi bisu deklarasi damai antara tokoh Dayak dan Madura usai tragedi. Bentuk tugu yang menyerupai kendi atau balanga, merepresentasikan makna perdamaian dan kesatuan dalam adat Dayak.

Tugu perdamaian itu kini tidak hanya menjadi penanda geografis dan ikon Kota Sampit. Tapi juga ruang budaya dan edukasi. Di area sekitarnya, berbagai kegiatan seni dan budaya sering digelar untuk mempererat ikatan antarwarga. Tak jarang, pengunjung dari luar kota singgah sejenak untuk memotret monumen tersebut atau sekadar membaca kisah di baliknya.

Menurut Gahara, nilai-nilai yang terkandung dalam tugu ini harus terus disampaikan ke generasi muda. Ia menekankan bahwa mengenang bukan berarti membuka luka lama, melainkan agar luka itu tidak terulang.

“Anak-anak kita harus tahu bahwa damai itu butuh usaha. Butuh saling memahami. Kalau kita melupakan sejarah, bisa-bisa kita mengulang kesalahan yang sama,” ungkapnya.

Kini, lebih dari dua dekade sejak konflik itu, Tugu Perdamaian Sampit berdiri sebagai pengingat abadi bahwa sebesar apa pun perbedaan, manusia tetap bisa berdamai. Tugu itu juga menjadi pengingat semua bahwa dari luka, bisa tumbuh harapan, dan dari konflik, bisa lahir rekonsiliasi yang menguatkan persaudaraan. (pri/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *