Hukum KriminalNasional

Mahasiswi Digauli Guru Ngaji, Kasus Berujung Damai, Korban Dinikahi Tapi Langsung Diceraikan

51
×

Mahasiswi Digauli Guru Ngaji, Kasus Berujung Damai, Korban Dinikahi Tapi Langsung Diceraikan

Sebarkan artikel ini
Mahasiswi Digauli Guru Ngaji
Ilustrasi. (Dok.JawaPos.com)

Insiden memilukan yang menimpa seorang mahasiswi berusia 19 tahun di Karawang, Jawa Barat, menyita perhatian publik. Pasalnya, korban diduga digauli atau diperkosa oleh pamannya sendiri yang juga merupakan guru ngaji

Ironisnya, kasus tersebut diselesaikan melalui mediasi yang disarankan oleh pihak kepolisian dengan jalan menikahkan korban dan pelaku. Namun, pernikahan itu hanya berumur satu hari. Lantas korban langsung diceraikan.

Kasus ini mendapat sorotan keras dari Anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez. Dia menegaskan kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan. Aparat kepolisian diminta tidak membela pelaku. Jika kasus itu diselesaikan di luar pengadilan, sama saja membela pelaku.

“Dalam UU TPKS, kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan. Sekalipun ada perdamaian, aparat penegak hukum tetap wajib memproses hukum pelaku,” kata Gilang kepada wartawan, Selasa (8/7).

Kasus itu bermula pada awal April lalu ketika korban melaporkan kejadian pemerkosaan ke Polsek Majalaya. Namun bukannya ditindaklanjuti secara hukum, polisi justru memfasilitasi perdamaian melalui pernikahan. Surat damai berisi kesepakatan bahwa kedua belah pihak tidak akan menuntut di kemudian hari.

Gilang menyatakan, tindakan aparat yang menyarankan mediasi adalah bentuk penyimpangan hukum yang berbahaya dan mencederai keadilan. Ia menekankan, pemerkosaan bukanlah perkara yang bisa diselesaikan dengan pendekatan adat atau kekeluargaan. “Tidak ada ruang mediasi dalam perkara pemerkosaan. Ini bukan delik adat, bukan persoalan reputasi kampung, ini tindak pidana berat,” ujarnya.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), terutama Pasal 23 yang menyatakan bahwa perkara kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, kecuali pelakunya adalah anak.

“Pengecualian hanya berlaku untuk pelaku anak, di mana penyelesaian perkara bisa dilakukan melalui mekanisme peradilan anak yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak,” jelasnya.

Ia menolak penggunaan pendekatan keadilan restoratif dalam kasus pemerkosaan karena justru dapat memperparah kondisi psikologis korban dan melemahkan efek jera terhadap pelaku. Gilang juga mengecam Polres Karawang yang berdalih kasus terdebut tidak bisa diproses karena korban bukan anak di bawah umur.

“Kalau alasannya begitu, seharusnya dibawa ke ranah pidana umum. Ini kok malah difasilitasi perdamaian yang jelas-jelas melanggar undang-undang,” ucap Gilang.

Lebih lanjut, Gilang menyebut praktik seperti ini sebagai bentuk pembiaran sistemik yang dapat menghancurkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.

“Padahal korban sudah cukup berani bersuara dan melaporkan kejadian. Alih-alih mendapatkan perlindungan, korban justru dihadapkan pada tekanan sosial dan dibiarkan menikah dengan pelaku, lalu diceraikan keesokan harinya,” pungkasnya.

Editor: Ilham Safutra

Sumber : jawapos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *