TBBR Menilai Berpotensi Merugikan Warga Lokal
Plt Sekda Kalteng Tekankan Keterlibatan Masyarakat Adat
PALANGKA RAYA – Program transmigrasi dari luar ke wilayah Provinsi Kalimantan Tengah oleh pemerintah, mulai menimbulkan polemik. Bahkan beberapa daerah terang-terangan menolak program tersebut. Alasannya karena program transmigrasi sebelumnya masih menimbulkan masalah, serta berpotensi merugikan warga lokal.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lamandau Herianto adalah salah satu yang menolak rencana pemerintah pusat untuk membuka kembali program transmigrasi baru di Lamandau.
Kebetulan Lamandau adalah satu dari lima kabupaten yang direncanakan untuk lokasi transmigrasi. Selain Lamandau, ada Kapuas, Kotawaringin Barat, Lamandau dan Kabupaten Sukamara.
Menurut Herianto, pemerintah pusat sebaiknya menyelesaikan dulu pekerjaan rumah dari program transmigrasi sebelumnya. Seperti di kawasan transmigrasi Kahingai, transmigrasi Batu Slipi, dan beberapa lokasi transmigrasi lainnya.
“Program transmigrasi lama saja masih banyak masalah. Infrastruktur belum tuntas, tapal batas belum jelas. Jangan ditambah dulu sebelum itu dibereskan,” kata Herianto saat di ruang kerjanya, Rabu (16/7/2025).
Dia menilai, kondisi wilayah dan kemampuan keuangan daerah belum siap untuk mendukung kedatangan transmigran baru.
Selain itu, belum ada sosialisasi kepada masyarakat lokal terkait rencana tersebut. “Kalau masyarakat lokal tidak dilibatkan sejak awal, ini bisa memicu konflik sosial. Harus ada dialog. Jangan tiba-tiba datang bawa orang tanpa koordinasi,” ujarnya.
Herianto juga menyinggung soal Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang belum tuntas. Padahal, menurutnya, penempatan transmigran harus mengikuti tata ruang yang jelas agar tidak tumpang tindih dengan wilayah adat atau desa. “Intinya, selesaikan dulu PR yang lama. Jangan tambah beban baru ke daerah,” tegasnya.
Sementara itu, Organisasi Masyarakat (Ormas) Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) menyuarakan pernyataan sikap tegas terhadap rencana program transmigrasi ke Kalimantan.
Mereka menilai program tersebut berpotensi merugikan masyarakat lokal, menimbulkan kesenjangan sosial, dan membuka kembali luka lama konflik agraria di tanah Borneo.
TBBR minta pemerintah pusat untuk menghentikan sementara rencana program transmigrasi dan melakukan kajian menyeluruh, terutama dari sisi sosial, budaya, dan hak masyarakat adat.
“Kami juga menuntut agar anggaran transmigrasi dialihkan untuk membantu warga lokal yang masih hidup dalam keterbatasan. Seperti memberikan bantuan rumah, lahan, dan jatah hidup kepada mereka yang kehilangan lahan akibat alih fungsi untuk perkebunan dan tambang,” anggota TBBR, Lianus, kemarin.
TBBR mengingatkan sejarah kelam konflik sosial di Kalimantan akibat transmigrasi bukan hal baru dan harus dijadikan pelajaran agar tidak terulang kembali.
Dengan sikap ini, TBBR berharap pemerintah pusat lebih bijak dalam merancang program pembangunan dan tidak mengabaikan aspirasi dan nasib masyarakat lokal Kalimantan.
Sementara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng merespons dengan menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal. Khususnya masyarakat adat, dalam perencanaan dan pelaksanaan program transmigrasi di Bumi Tambun Bungai.
Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kalteng Leonard S Ampung menyampaikan, pemerintah memahami dinamika dan reaksi yang muncul di tengah masyarakat. Menurut dia, kritik dan perbedaan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang telah diatur dalam undang-undang.
“Mengenai dinamika di masyarakat, saya tidak bisa berbuat banyak karena hak untuk berpendapat dan sebagainya itu telah diatur undang-undang. Tapi bagaimana pemerintah melihat dari kepentingan masyarakat setempat, itu yang utama,” kata Leonard, kemarin.
Mantan kepala Dinas PUPR Provinsi Kalteng itu menyampaikan, pemprov telah minta adanya kajian mendalam serta sosialisasi yang menyeluruh terkait program transmigrasi ini. Ia menegaskan, sebelum program dijalankan, harus ada pelibatan aktif dari berbagai elemen masyarakat.
“Kita minta kajian, sosialisasi, kemudian betul-betul harus melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat. Itu sebelum kita bisa menerima program ini,” tambahnya.
Dijelaskan mantan ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Kalteng itu, program transmigrasi bukan hal baru dan telah berjalan di berbagai daerah di Indonesia. Namun yang menjadi perhatian khusus di Kalteng adalah soal perlindungan dan partisipasi masyarakat adat yang menjadi bagian penting dalam tatanan sosial dan budaya di wilayah tersebut.
“Untuk transmigrasi ini kita banyak bicara mengenai keterlibatan masyarakat adat. Karena kita menentukan datanya transmigrasi kita bisa komposisi. Tapi kita harapkan kalau dari lokal lebih banyak, itu bagus,” ujarnya.
Leonard juga mengatakan, salah satu tujuan utama program transmigrasi yaitu untuk memindahkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Seperti wilayah bantaran sungai yang kerap dilanda banjir, ke lokasi yang lebih aman dan produktif.
Ia menyebut, transmigrasi lokal bisa menjadi solusi strategis yang sangat bermanfaat bagi masyarakat terdampak. “Artinya masyarakat kita di pinggir bantaran sungai yang sering kena banjir itu kita bisa pindahkan melalui program transmigrasi lokal, itu kan sangat bermanfaat,” ungkapnya.
Dalam pelaksanaannya, Leonard menyatakan, para transmigran akan mendapatkan berbagai fasilitas dasar untuk menunjang kehidupan mereka di lokasi baru. Ini meliputi tanah, rumah, dan sertifikat kepemilikan sebagai jaminan hidup di tempat yang baru. “Semua imigran mendapat sertifikat, tanah, dan rumah. Jadi jaminan hidup semua dapat di situ,” ungkapnya.
Meski demikian, ia mengakui bahwa ada keterbatasan dalam alokasi lahan. Biasanya, satu keluarga transmigran mendapatkan lahan 2 hektare. Namun dalam skema permukiman tertentu bisa lebih kecil. Yakni sekitar 1,4 hektare per keluarga.
Polemik yang muncul di masyarakat, berkisar pada kekhawatiran terhadap potensi konflik lahan, kerusakan lingkungan, hingga tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena itu, Leonard menegaskan kembali bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada transparansi, keterbukaan, dan keterlibatan seluruh pihak terkait. (han/rdo/ifa/ens)