Krisis dokter spesialis di Indonesia ternyata belum menunjukkan tanda membaik. Jumlah lulusan per tahun masih minim. Diperkirakan bahkan jumlah ini tak akan menutup gap kekurangan hingga Indonesia genap 100 tahun merdeka.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) menjelaskan, dengan jumlah penduduk saat ini, Indonesia sejatinya membutuhkan tambahan 70 ribu dokter spesialis dalam 10 tahun ke depan. Sayangnya, hingga kini, Indonesia hanya mampu melahirkan 2.700 dokter spesialis setiap tahunnya.
Dengan angka produksi tersebut, maka kekurangan dokter spesialis ini baru bisa tertutupi dalam 26 tahun. Sehingga, ketika genap 100 tahun merdeka pada 2045 nanti pun Indonesia masih akan kekurangan dokter spesialis.
“Bapak Ibu, kita sebentar lagi mau ulang tahun ke 80. Kita kejar gap-nya, sampai ulang tahun ke 100. Kalau kita bekerja dengan speed yang sekarang, ini yang kita sampaikan ke Bapak Presiden, sampai kita ulang merdeka yang 100 tahun pun, kita akan kekurangan dokter spesialis,” papar BGS dalam acara ‘Program Akselerasi Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Tenaga Medis untuk Percepatan Perwujudan Asta Cita: Strategi Kemitraan Sistem Kesehatan Akademik’, di Kantor Kemendiktisaintek, di Jakarta, Selasa (22/7).
Kekurangan ini pun bukan hanya sekadar angka. Sebab, menurut dia, dampaknya berujung pada berbagai persoalan serius. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab kematian lebih dari 1 juta masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Terbanyak berkaitan dengan penyakit stroke, jantung, hingga kanker.
Dia mencotohkan, kondisi RS Harapan Kita. Pasien dari berbagai daerah harus mengantre hingga 6 bulan untuk mendapatkan penanganan khusus terkait jantung dan pembuluh darah.
“Bagaimana kita mempertanggungjawabkannya di akhirat nanti,” ungkapnya.
Dia turut menyinggung soal angka kematian pada bayi. Dari data yang ada, ada 12.000 bayi yang membutuhkan operasi setiap tahunnya. Akan tetapi mirisnya, hanya 6.000 bayi yang bisa dioperasi. Walhasil, ada 6.000 bayi yang meninggal karena tak tertangani akibat tak adanya dokter spesialis jantung anak maupun fasilitas yang tak memadai.
“Jadi bukan karena kita nggak mampu dokternya, karena nggak cukup dokter-dokternya dan fasilitasnya. Sehingga, 6.000 bayi yang punya kongenital heart disease, kelainan jantung bawaan, died,” ujarnya.
Bukan hanya soal jumlah. Masalah dokter spesialis ini juga disebutnya berkaitan dengan distribusi. Dia mengatakan, distribusi dokter spesialis hingga kini masih belum tersebar merata.
Misalnya saja, untuk distribusi dokter spesialis penyakit jantung dan paru (SPJP). Dari 38 provinsi, baru sekitar 3-4 provinsi yang sudah memenuhi sesuai kuota. Seperti DKI Jakarta dan DIY Yogyakarta. Padahal, keberadaan mereka sangat krusial.
SUMBER : JAWA.POS