Feature

Simbol Kerja Keras yang Penuh Harapan

188
×

Simbol Kerja Keras yang Penuh Harapan

Sebarkan artikel ini
JUAL BENDERA: Bu Ai (kanan) produsen sekaligus pedagang bendera dan pernak-pernik kemerdekaan di tepi Jalan Tjilik Riwut Km 1,5, Kota Palangka Raya, saat melayani pembeli (kiri), Kamis (31/7/2025). FOTO IFA/PE

Dari Jarum dan Benang, Beben dan Ai Rajut Makna Merah Putih

Di bawah naungan pohon besar di tepi Jalan Tjilik Riwut Kilometer 1,5, sepasang tangan terlihat cekatan menggantungkan kain merah putih ke seutas tali rafia. Warna-warna nasional itu tak sekadar simbol bagi Beben dan istrinya, Ai. Di balik tiap potong bendera, terselip kerja keras, ketekunan, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.

SITI NUR MARIFA, Palangka Raya

BERJUALAN pernak-pernik kemerdekaan itu adalah wajah yang terlihat. Namun di balik itu, Beben (46)–pria asal Garut, Jawa Barat, adalah seorang perajin produsen tangan pertama. Ia menjahit dan merakit sendiri hampir seluruh barang yang dijualnya.

“Ini semua buatan sendiri, bukan beli dari toko,” kata Beben sambil menunjukkan gantungan kunci garuda dan latar dekorasi berlogo bendera, Kamis (31/7/2025).

Tak banyak yang tahu bahwa sebagian besar atribut kemerdekaan yang bertebaran di pinggir jalan, disulap dari rumah-rumah kecil dan tangan-tangan terampil seperti Beben. Ia bukan hanya pedagang, tetapi perajin yang mengolah bahan mentah menjadi simbol perjuangan. “Banyak orang lihatnya cuma jualan bendera. Tapi buat saya, bendera ini saya jahit sendiri. Jadi lebih dari sekadar dagangan,” ujarnya.

Beben telah menekuni dunia jahit-menjahit sejak lulus SMP tahun 1995. Selama hampir tiga dekade, ia mengasah keterampilan membuat atribut nasional dari tempat ke tempat, hingga akhirnya memilih Palangka Raya sebagai tempat menetap delapan tahun terakhir. “Awalnya coba-coba, bawa bahan dari Jawa. Tapi lama-lama cocok di sini. Ada pasarnya,” ujarnya.

Di saat sebagian masyarakat menunjukkan rasa cinta Tanah Air lewat upacara dan lomba 17-an, Beben dan Ai melakukannya lewat cara yang lebih sederhana, menjahit, menjual, dan menyebarkan simbol-simbol kemerdekaan ke tangan-tangan warga. “Kalau orang beli bendera ke saya, rasanya ada kepuasan. Karena itu karya saya sendiri,” ujar Beben.

Menurut dia, tiap tahun permintaan bendera selalu naik mendekati pertengahan Agustus. Harga yang ditawarkan pun beragam, dari Rp 10.000 hingga Rp 400.000. Tergantung ukuran dan model.

Namun sebagai perajin, keuntungan bukan satu-satunya tujuan. Ada semacam kepuasan batin saat melihat hasil karyanya dipasang di halaman rumah, sekolah, atau kantor. “Kadang saya lewat, lihat background merah putih yang saya jahit dipasang di kantor kelurahan. Wah, rasanya luar biasa,” jelasnya sambil tersenyum.

Perjalanan menjadi perajin-pedagang tidak selalu mudah. Tahun-tahun tertentu penjualan bisa menurun drastis. Ada hari-hari di mana dagangan tak laku sama sekali. “Pernah pulang bawa tangan kosong. Tapi ya, namanya hidup. Saya pikir, kalau niatnya baik, nanti ada jalannya,” ucapnya.

Beben juga tak sendiri. Ia memimpin empat kelompok kecil yang terdiri dari sesama  pedagang. Mereka saling berbagi lokasi, bahan, hingga strategi penjualan. “Kami saling dukung, bukan bersaing. Yang penting semua bisa jualan, bisa makan,” akuinya.

Kini, menjelang puncak kemeriahan 17 Agustus, Beben dan kelompoknya bersiap menghadapi lonjakan permintaan. Mereka tahu, ini masa panen, sekaligus momen memperlihatkan karya yang selama ini dijahit dalam sunyi.

Di balik selembar kain merah putih, tersembunyi begitu banyak cerita. Bagi sebagian, mungkin itu hanya sepotong bendera. Tapi bagi Beben, tiap helai adalah potongan hidupnya, hasil tangan dan keringat yang ia persembahkan untuk bangsa, dengan caranya sendiri. “Bendera itu nggak cuma simbol negara. Tapi juga simbol kerja keras. Simbol harapan,” kata Beben sambil menyeka peluh di dahinya.

Ketika Agustus datang, jalanan mungkin akan dipenuhi warna merah putih. Tapi bagi mereka yang hidup dari menjahitnya, kemerdekaan itu lebih dari sekadar simbol. Ia adalah perjuangan sehari-hari untuk tetap berkibar dalam segala keadaan. (ifa/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *