Seorang Anak 3 Tahun Ditemukan Tewas Tenggelam di Belakang Rumahnya
PALANGKA RAYA – Sebuah tragedi memilukan terjadi di Kelurahan Panarung, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya, Senin (11/8/2025) sore. Seorang balita berinisial NI (3) ditemukan meninggal dunia, diduga tenggelam di parit sedalam dua meter, tepat di belakang dapur rumahnya.
Yang paling mengejutkan, awal terungkapnya peristiwa ini bukan dari teriakan atau suara percikan air. Melainkan dari petunjuk polos sang adik, yang baru berusia 1 tahun 4 bulan.
Saat itu, sang adik berdiri di belakang dapur, menatap ke arah parit sambil menunjuk berulang kali. Gerakan itu membuat tetangga curiga. Apalagi korban biasanya hanya bermain di teras dan halaman depan rumahnya.
“Tidak ada suara orang tercebur, tapi gerakan adiknya itu membuat warga bertanya-tanya,” kata Koordinator Call Center 112 Palangka Raya Sucipto mengutip keterangan warga sekitar saat upaya evakuasi NI dari parit di belakang rumah orang tuanya.
Kecurigaan semakin kuat setelah ibu korban, yang sedang sibuk di dapur, menyadari bahwa sang kakak tak terlihat di rumah.
Karena panik, keluarga dan warga segera mencari di sekitarnya. Tatapan dan tunjukan tangan sang adik akhirnya mengarahkan semua perhatian ke parit galian di belakang dapur.
Dugaan itu benar. NI ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri di kubangan air tersebut. Tim gabungan Call Center 112, Satpol PP, BPBD, Dinas Sosial, dan Damkar bergerak cepat setelah menerima laporan pukul 16.46 WIB. Korban langsung dibawa ke RS Muhammadiyah Palangka Raya.
“Tim medis sudah berusaha melakukan pertolongan hingga pukul 18.20 WIB, namun korban tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan,” kata Sucipto.
Tragedi ini menyisakan duka mendalam, sekaligus menyentil kesadaran akan bahaya mengintai di sekitar rumah. Bahkan hanya beberapa langkah dari dapur.
Kasus NI menjadi pengingat bahwa celah keselamatan di lingkungan rumah, sekecil apa pun, dapat berubah menjadi ancaman mematikan.
“Kami turut berduka sekaligus mengimbau agar penutupan atau pengamanan area berisiko tinggi bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak untuk mencegah tragedi serupa,” tutup Sucipto. (rdo/ens)