Isen MulangKalimantan Tengah

Wacana Pelatihan Dokter Umum Jadi Obgyn Tidak Dijadikan Pilihan Utama

75
×

Wacana Pelatihan Dokter Umum Jadi Obgyn Tidak Dijadikan Pilihan Utama

Sebarkan artikel ini
Wacana Pelatihan Dokter Umum Jadi Obgyn Tidak Dijadikan Pilihan Utama
WAWANCARA: Kadis Kesehatan Provinsi Kalteng, Suyuti Syamsul diwawancara awak media, Senin (19/5). (Foto: IFA/PE)

PALANGKA RAYA – Menteri Kesehatan (Menkes) RI mewacanakan pelatihan bagi dokter umum, terutama yang bertugas di daerah, untuk menjadi dokter spesialis kebidanan dan kandungan atau Obgyn (Obstetri dan Ginekologi). 

Wacana ini mendapat dukungan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai solusi atas krisis distribusi tenaga medis spesialis yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng, Suyuti Syamsul menilai, bahwa wacana tersebut perlu dipertimbangkan secara lebih mendalam dan tidak dijadikan sebagai solusi utama dalam mengatasi kekurangan dokter spesialis di daerah.

“Melatih dokter umum pun tidak akan menyelesaikan masalah secara langsung. Kita tetap membutuhkan dokter anestesi dan tenaga kesehatan lainnya yang mendukung layanan obstetri dan ginekologi. Apakah semuanya harus dilatih juga?. Ini yang harus disiapkan,” ujarnya kepada awak media, Senin (19/5). 

Menurut Suyuti, wacana pelatihan dokter umum menjadi spesialis Obgyn sebaiknya diposisikan sebagai alternatif terakhir ketika tidak ada solusi lain yang bisa dilakukan, seperti distribusi dokter spesialis secara merata.

“Itu sebetulnya pilihan terakhir ketika kita tidak bisa melakukan distribusi dokter S.Pog dengan baik. Jika tidak ada alternatif lain, barulah opsi pelatihan bisa diambil,” jelasnya.

Suyuti menambahkan, jumlah dokter spesialis Obgyn di Indonesia sebenarnya cukup memadai jika didistribusikan secara proporsional.

Berdasarkan data yang Ia sampaikan, terdapat sekitar 6.000 dokter spesialis Obgyn di Indonesia. Jika dibagi rata ke seluruh kabupaten, maka setiap kabupaten seharusnya bisa memiliki sedikitnya 10 dokter spesialis.

“Masalahnya sekarang tinggal bagaimana pemerintah daerah bisa memberikan insentif yang baik agar para dokter tersebut mau bertugas di daerah, tidak menumpuk di kota-kota besar saja,” katanya.

Ia menekankan, pentingnya kebijakan retensi, yaitu upaya mempertahankan tenaga dokter agar tetap bertugas di wilayah-wilayah terpencil atau luar kota. Menurutnya, insentif finansial maupun non-finansial perlu dirancang dengan baik agar tenaga dokter bersedia dan betah bekerja di daerah.

“Meskipun profesi dokter itu dalam rangka kemanusiaan, namun mereka juga manusia yang punya kebutuhan hidup. Tidak bisa hanya bicara tentang produksi dokter tanpa memikirkan mekanisme retensinya,” tandasnya. (ifa/abe)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *