Mengakhiri Konflik Antar Suku, Menjunjung Kebersamaan dan Perdamaian
PALANGKA RAYA – Sejarah berdirinya Provinsi Kalimantan Tengah tidak terlepas dari rapat damai Tumbang Anoi. Salah satu keputusan dalam rapat itu menjalin perdamaian dan kebersamaan antar Suku Dayak serta membantu pemerintah Hindia Belanda dalam mensejahterakan masyarakat.
Rapat damai Tumbang Anoi diselenggarakan di Betang Tumbang Anoi di Hulu Sungai Kahayan pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894. Rapat Tumbang Anoi itu sebagai upaya untuk mengakhiri konflik antar Suku Dayak.
Di mana pada waktu itu masih terjadi konflik antar Suku Dayak. Balas membalas antar keluarga. Bahkan kebiasaan adat mengayau (memotong kepala). Kebiasaan perang antar suku antar desa. Kebiasaan-kebiasaan yang mengarah kepada tindakan premitif ini menyulitkan Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai Pulau Kalimantan secara penuh.
Oleh karena itu, para pemuka adat dan masyarakat Dayak di seluruh Pulau Borneo yang diprakarasi Damang Batu sepakat untuk mengadakan rapat damai Tumbang Anoi. Tujuan utama dalam dalam rapat damai itu, diantaranya untuk menghentikan konflik antar suku, termasuk kebiasaan adat mengayau. Tujuan lain adalah membantu Pemerintah Hindia Belanda untuk mensejahterakan masyarakat, khususnya Suku Dayak.

“Sejarah Kalimantan Tengah itu dimulai dari rapat damai Tumbang Anoi pada tahun 1894 di Hulu Sungai Kahayan, Kabupaten Gunung Mas,” kata Budayawan dan anggota Pakar DAD Kalimantan Tengah, Sidik Rahman Usop yang ditemui Palangka Ekspres di sebuah kafe di Palangka Raya, Rabu (21/5/2025).
Jiwa dan semangat masyarakat Dayak itu, lanjut Rahman Sidik, ada di rapat damai Tumbang Anoi yang diprakarsai Damang Batu. Tujuanya untuk mengakhiri konflik antar Suku Dayak dan menjalin perdamaian masyarakat Suku Dayak di Pulau Borneo. “Rapat damai Tumbang Anoi itu diprakasai oleh Damang Batu di Betang Tumbang Anoi. Rapat itu sebagai upaya pemuka adat untuk menyelesaikan konflik antara sesama orang Dayak,” ucapnya.
Konflik yang dimaksud, seperti hakayau, saling membunuh, dan perbudakan (hajipen). Hal itu terjadi secara terus-menerus. Dengan adanya prakasa perdamaian dari Pemerintah Belanda dan dari Damang Batu, sehingga terselenggaralah rapat damai Tumbang Anoi.
“Rapat itu dilaksanakan untuk menghentikan tiga hal tersebut. Seperti hakayau, habunuh, dan hajipen. Kalaupun ada terjadi konflik setelah rapat damai Tumbang Anoi, maka akan diselesaikan oleh hukum adat yang berlaku dalam wilayah adat masing-masing,” ungkapnya.
Dia juga menjelaskan, rapat damai Tumbang Anoi semacam ide kebangkitan masyarakat Dayak, untuk pisah dari wilayah kekuasaan Kalimantan Selatan. Karena selama masih berada di wilayah kekuasaan Kalimantan Selatan, masyarakat Dayak sangat tertinggal.
Sehingga kesadaran itu muncul, dan terciptalah Organisasi Serikat Dayak pada tahun 1926. Kemudian berubah nama menjadi Pakat Dayak. Semua itu menjadi kesadaran bahwa masyarakat Dayak itu tertinggal selama di bawah pemerintahan Kalimantan Selatan.
“Kebangkitan itulah yang menyatukan kebudayaan Dayak dan kesadaran menjadi sebuah kekuatan, untuk berjuang dan memisahkan diri dari Kalimantan Selatan,” jelasnya.
Disebutkan lahirnya organisasi Mandau Telawang Pancasila dan Kongres Rakyat Kalimantan yang pertama, memunculkan pemikiran bagaimana caranya masyarakat Dayak ini memisahkan diri dari pemerintahan Kalimantan Selatan, dan mendirikan provinsi baru.
Rapat damai Tumbang Anoi itu, katanya, merupakan jiwa dan kekuatan masyarakat Dayak untuk menjadikan Provinsi Kalimantan Tengah. Oleh sebab itu, jangan sampai Tumbang Anoi itu dilihat sebagai hal biasa-biasa saja.
“Seharusnya ada momentum dan bangunan sebagai peninggalan sejarah terkait transformasi Tumbang Anoi. Kelak bangunan itu akan menjadi peninggalan sejarah dan wisata sejarah Kalimantan Tengah,” tegasnya.
Setelah kebangkitan Dayak tadi, Provinsi Kalimantan Tengah berdiri, yang ditandai peletakan batu pertama oleh Presiden Pertama RI, Soekarno pada 17 Juli 1957. Sejak itu, pemikiran masyarakat Dayak berkembang secara terus menerus dan muncul kajian-kajian mengenai Dayak.
Rahman Sidik menambahkan, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Palangka Raya, ada mata kuliah Dayakologi. Dalam mata kuliah itu, pengetahuan Dayak dikembangkan dan dilestarikan, serta ditanamkan kembali ke dalam kehidupan masyarakat masa kini. “Masyarakat masa kini sudah banyak meninggalkan nilai budaya Dayak. Kampus ingin menanamkan kembali nilai-nilai budaya Dayak tadi,” katanya.
Dia menegakasn, pembanguan Kalteng berpusat pada manusia (human centered development). Budaya Kalteng itu lebih cenderung ke sana. Hal inilah yang sedang digali, sebagai alternatif mode pembangunan ke depan, yang mengarah terhadap kerja sama dan kebersamaan untuk mengatasi masalah lingkungan serta kemanusiaan.
“Dalam rapat damai Tumbang Anoi mengagungkan perdamaian dan kebersamaan, sebagai transformasi berpikir dan kolaborasi,” kata Rahman.
Ditambahkannya, dalam rapat damai Tumbang Anoi, seluruh perwakilan masyarakat Dayak di Pulau Borneo datang. Termasuk perwakilan Sarawak dan Brunei juga hadir di sana. Mereka datang ke Tumbang Anoi menggunakan perahu, karena tidak ada tranportasi lainnya. (rdi/to/ens)