Dunia internasional kembali dibuat geleng-geleng kepala setelah pertemuan hangat namun penuh kontroversi antara Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Senin (7/7) malam waktu setempat.
Alih-alih membahas solusi damai yang berkeadilan, kedua pemimpin yang dicap oleh dunia sebagai biang keladi konflik berkepanjangan di Timur Tengah itu justru menggandeng tangan dalam menghidupkan kembali ide yang sudah lama dikritik.
Ide tersebut yakni memindahkan paksa warga Palestina dari Jalur Gaza. Sebuah solusi kontroversial yang jelas merupakan skenario lanjutan dari penjajahan bangsa Palestina.
Dalam jamuan makan malam di Blue Room, di tengah geliat negosiasi tidak langsung antara Hamas dan Israel di Qatar, Trump dan Netanyahu secara terbuka mendiskusikan proposal yang terdengar lebih seperti pengusiran berjubah ‘kemanusiaan’.
Mereka mengklaim bahwa warga Gaza sebaiknya diberikan ‘pilihan’ untuk meninggalkan wilayah yang selama ini telah mereka perjuangkan mati-matian.
“Jika orang ingin tinggal, mereka bisa tinggal, tetapi jika mereka ingin pergi, mereka harus bisa pergi. Seharusnya tidak menjadi penjara. Itu harus menjadi tempat terbuka dan memberi orang pilihan bebas,”
ujar Netanyahu, dengan nada yang seolah-olah mengesampingkan fakta bahwa Gaza telah diblokade selama lebih dari satu dekade, membuatnya justru menyerupai penjara terbuka.
Mengutip Al-Jazeera, Netanyahu bahkan menambahkan bahwa Israel dan AS kini tengah mencari negara-negara yang ‘bersedia’ menerima pengungsi Palestina.
“Kami bekerja dengan Amerika Serikat sangat erat untuk menemukan negara-negara yang akan berusaha menyadari apa yang selalu mereka katakan, bahwa mereka ingin memberi Palestina masa depan yang lebih baik. Saya pikir kita semakin dekat untuk menemukan beberapa negara,”
katanya penuh keyakinan, meski tidak menyebutkan negara mana yang siap menampung eksodus besar-besaran ini.
Tak mau kalah dalam membuat pernyataan absurd, Trump kembali menggaungkan visinya yang sempat dikecam luas: menjadikan Gaza sebagai ‘Riviera of the Middle East’.
Ya, seperti Las Vegas bertemu Monaco, tapi di atas reruntuhan perang dan darah rakyat Palestina. “So something good will happen,” kata Trump dengan enteng, seolah pengusiran massal adalah proyek properti berikutnya.
Pernyataan ini jelas memicu gelombang kemarahan di berbagai belahan dunia. Kritikus menyebut wacana ini sebagai bentuk pemurnian etnis terselubung dan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.
Alih-alih mengakhiri perang, Trump dan Netanyahu justru menambah bara ke dalam konflik yang sudah membara selama hampir dua tahun.
Alih-alih memberikan ‘pilihan bebas’, langkah ini justru terasa seperti diplomasi dengan ujung laras senapan: tinggal atau pergi, tapi dengan penderitaan sebagai konsekuensi tetap.
Pertanyaannya sekarang: apakah ini upaya damai, atau justru mimpi buruk baru bagi rakyat Gaza? Dunia sedang menanti jawabannya, dan sejauh ini, yang terdengar hanyalah suara langkah sepatu pemimpin yang berjalan menjauh dari keadilan. (*)
Editor: Dinarsa Kurniawan
Sumber : jawapos.com