Kisah Pulangnya Almijan dari Ibu Kota Jakarta
Di sebuah rumah sederhana di Jalan Pelatuk VII, Kota Palangka Raya pagi itu terasa berbeda. Bukan karena angin yang sejuk atau matahari yang malu-malu menembus jendela, melainkan karena hadirnya kembali satu nama yang lama menghilang. Almijan.
IFA/TERI, Palangka Raya
NAMANYA tak asing bagi keluarga Masmulia dan Darling. Ia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Namun selama lebih dari satu dekade, namanya hanya tinggal bayang—sebuah kisah yang menggantung di antara harapan dan kesedihan.
Almijan pergi dari rumah sejak 2015. Awalnya, keluarga tak terlalu khawatir. Ia memang dikenal penyendiri, namun juga petualang. Hidupnya dihabiskan berpindah-pindah kota, mencari makna, atau mungkin melarikan diri dari luka yang tak pernah sempat ia ceritakan. Tapi tahun berganti tahun, dan tak ada lagi kabar.
Bagi Warnidah, adik perempuan Almijan, rasa kehilangan itu berubah menjadi doa yang tak pernah putus. Tak terhitung malam yang ia lewati dengan mata terbuka, memandangi langit dan bertanya. Di mana kau, kak?
Kabar itu datang tiba-tiba. Almijan ditemukan, tapi tidak dalam keadaan yang biasa dibayangkan keluarga. Ia hidup di jalanan Jakarta, terlunta dan tanpa identitas. Ia ditemukan oleh petugas Satpol PP, lalu dibawa ke Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3 di Daan Mogot, Jakarta Barat. Di sana, ia menjalani hari-hari dalam kesunyian dan kebisuan panjang, terasing dari dunia, terputus dari masa lalu.
Di titik itulah, takdir bergerak. Yayasan Caritas Indonesia melalui Suster Kristina Fransiska dan Dinas Sosial Kota Palangka Raya mulai membuka simpul yang sempat terikat mati. Bersama Kepala Dinsos Riduan, mereka menjemput Almijan pulang. Tidak sekadar membawa tubuhnya kembali, tetapi juga menyulam kembali jalinan keluarga yang sempat tercerai.
Saat pintu rumah itu terbuka dan Almijan melangkah masuk, tak ada kata-kata yang keluar. Hanya air mata, dan pelukan yang hangat. Pelukan yang seolah mengatakan, “Kau tidak pernah benar-benar hilang.”
Kini, Almijan hidup bersama Warnidah dan keluarganya. Total enam orang tinggal di bawah satu atap, berbagi ruang, tawa, dan masa lalu yang perlahan mereka rangkai ulang. Ia ikut bekerja di sektor kayu, bangun pagi, pulang sore, seperti manusia lainnya yang meniti hari demi hari.
Namun luka tak serta-merta sembuh. Hidup di jalanan, kehilangan arah, dan bertahun-tahun hidup tanpa nama meninggalkan trauma. Ia harus menjalani pengobatan rutin sebulan sekali di RSJ Kalawa Atei, dan keluarga memastikan ia minum obat tepat waktu.
Tak banyak yang diucapkan Almijan. Ia tetap pendiam seperti dulu. Tapi kini, di balik diamnya, ada senyum yang sesekali merekah, ada ketenangan yang perlahan muncul. Ia mungkin belum sepenuhnya pulih, tapi satu hal pasti, ia tak lagi sendirian.
“Yang penting dia sudah di sini. Di rumah. Bersama kami,” ucap Warnidah pelan, menatap kakaknya yang tengah duduk di pojok ruangan, memandangi jendela dengan tatapan yang jauh lebih damai dari sebelumnya.
Di dunia yang seringkali sibuk melupakan, kisah Almijan mengingatkan bahwa kadang, pulang bukan tentang tempat. Melainkan tentang pelukan yang bersedia menunggu, meski harus menanti dalam diam selama sepuluh tahun lamanya. (*)