Majelis Masyayikh menegaskan komitmen dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan pesantren dengan menyelenggarakan Uji Publik Dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal dan Eksternal (SPMI–SPME) untuk Pendidikan Pesantren Jalur Nonformal. Kegiatan ini dilaksanakan pada 10–12 Juli 2025 di Kota Tangerang dan diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan.
Uji publik ini merupakan bagian akhir dari serangkaian proses yang telah dimulai sejak tahun 2023. Dimulai dari kajian awal mengenai pemetaan tipologi dan pola pendidikan pesantren nonformal, Majelis Masyayikh kemudian menyusun dokumen Standar Mutu Pendidikan Pesantren Pada Jalur Pendidikan Nonformal pada tahun 2024, yang selanjutnya disahkan melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 1104 Tahun 2025.
Dokumen SPMI-SPME tersebut memuat dua sistem utama. Yakni Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang dilaksanakan oleh Dewan Masyayikh di tingkat satuan pendidikan pesantren
Selain itu, Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) yang dijalankan secara nasional oleh Majelis Masyayikh.
Pendidikan pesantren jalur nonformal adalah bentuk paling otentik dari tradisi pesantren di Indonesia. Sebelum hadirnya pendidikan berjenjang dan formal, pesantren tumbuh dari tradisi pengkajian kitab kuning yang tidak hanya mentransmisikan ilmu, tetapi juga nilai-nilai akhlak dan aqidah.
Ketua Majelis Masyayikh, KH. Abdul Ghaffar Rozin, menekankan pentingnya pelestarian bentuk asli pesantren dalam setiap upaya penjaminan mutu.
“Pendidikan nonformal pesantren adalah bentuk asli dan khas dari pendidikan pesantren. Sebelum ada jenjang dan formalitas, pesantren berdiri dengan kajian kitab kuning. Itulah ruh yang harus kita rawat,” tegasnya dalam keterangan tertulisnya.
Meski demikian, sebagai bentuk otentik dari pendidikan pesantren, Gus Rozin menyebutkan jalur nonformal pesantren tetap harus memperhatikan aspek pemenuhan hak sipil santri untuk mendapatkan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi.
“Kami harus sama-sama meyakini bahwa bentuk asli ini harus kita lestarikan, kita rawat, dan kita kembangkan sedemikian rupa, tentunya tanpa mengubah banyak praktik pendidikan pesantren. Namun demikian, kami juga perlu memperhatikan aspek lainnya seperti pemenuhan hak sipil, rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi,” tambah Gus Rozin.
SUMBER : JAWA.POS