Feature

Jadi Kekayaan Intelektual Komunal Bumi Habaring Hurung

112
×

Jadi Kekayaan Intelektual Komunal Bumi Habaring Hurung

Sebarkan artikel ini
SILAT KUNTAU : Pemuda asal Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur memperagakan salah satu gerakan silat kuntau bangkui, beberapa waktu lalu.FOTO PE

Silat Kuntau Bangkui, dari Hutan Kotim Menuju Pengakuan Resmi

Di balik rindangnya hutan Kalimantan dan keseharian masyarakat Dayak di Kabupaten Kotawaringin Timur, tersimpan sebuah warisan yang terus hidup hingga kini. Yaitu silat kuntau bangkui. Seni bela diri tradisional yang diwariskan secara lisan dan praktik turun-temurun itu, kini resmi tercatat sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) milik Kotim.

APRI, Sampit
BUKAN sekadar pencatatan administratif, pengakuan ini menjadi momen penting bagi masyarakat Bumi Habaring Hurung—sebutan Kabupaten Kotim, yang selama ini menjaga silat ini tetap lestari.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim Bima Eka Wardhana tidak bisa menyembunyikan rasa syukurnya.
“Alhamdulillah, silat kuntau bangkui kini sah diakui sebagai kekayaan intelektual Kotim. Ini menegaskan bahwa silat ini memang lahir dan tumbuh dari masyarakat Kotim. Tidak ada lagi ruang bagi pihak lain untuk mengklaim,” kata Bima Eka Wardhana, Jumat (18/7/2025) lalu.
Silat kuntau bangkui bukan sekadar teknik bela diri. Setiap gerakan yang diturunkan dari para leluhur memiliki makna dan nilai filosofis tersendiri. Gerakannya terinspirasi dari bangkui, sejenis primata khas Kalimantan yang gesit dan lincah. Mulai dari jemari, bahu, lutut, hingga pergelangan kaki ikut bergerak dalam pola-pola yang harmonis namun penuh tenaga.
Bukan hanya soal kekuatan fisik, silat kuntau bangkui juga memadukan unsur spiritual. Sebelum memulai, biasanya para pesilat melafalkan doa. Sebab gerakan silat ini diyakini memiliki kekuatan untuk melumpuhkan lawan hanya dengan tangan kosong. Karena itu tidak boleh digunakan sembarangan.
“Silat ini bukan hanya bela diri, tapi juga bagian dari identitas budaya kita. Kalau dulu hanya dikenal di lingkup adat, kini kami ingin mengenalkan lebih luas lagi. Termasuk sebagai atraksi pariwisata,” jelas Bima.
Silat kuntau bangkui biasanya dipertunjukkan dalam acara adat. Seperti lawang sekepeng, yaitu tradisi penyambutan tamu dengan cara membuka ‘pintu kehormatan’ menggunakan silat.
Kini, dengan status resmi sebagai KIK, jalan baru terbuka. Pemerintah daerah berencana mengembangkan silat kuntau bangkui ke arah yang lebih modern tanpa menghilangkan nilai aslinya, mulai dari pelatihan untuk generasi muda, festival budaya, hingga kemungkinan memasukkan unsur silat ini dalam produk ekonomi kreatif.
“Status ini menjadi landasan kuat untuk pengembangan ke depan. Silat bangkui bisa kita angkat dalam festival, pelatihan, hingga produk budaya. Bahkan membuka peluang kerja bagi masyarakat lokal,” ungkapnya.
Bima optimistis seni bela diri lokal ini bisa melangkah ke panggung nasional. Bahkan internasional. Jika selama ini silat-silat lain dari berbagai daerah Indonesia sudah lebih dahulu dikenal dunia, kini giliran Kotim menunjukkan keunikan budayanya melalui silat kuntau bangkui.
“Yang penting, tetap menjaga keaslian. Kita ingin dikenal dunia, tetapi tetap berakar di tanah kita sendiri,” tegasnya.
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, pengakuan ini bukan sekadar soal nama. Ini adalah bukti bahwa akar budaya lokal tetap hidup dan diakui. Bukan hanya oleh masyarakat setempat. Tetapi juga secara hukum dan resmi. Silat kuntau bangkui, dari hutan Kotim, kini melangkah lebih jauh. (pri/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *