Feature

Gusti Nasar Menjaga Sejarah Kerajaan Islam di Kobar

113
×

Gusti Nasar Menjaga Sejarah Kerajaan Islam di Kobar

Sebarkan artikel ini
ISTANA KUNING: Gusti M Nasar Halil, seorang juru pelihara sekaligus keturunan langsung sultan ke-11 Kesultanan Kutaringin. FOTO DOKUMEN UNTUK PE

Jadi Pewaris Kesultanan di Balik Istana Kuning

Di tengah hiruk-pikuk Kota Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat yang kian berkembang, berdiri sebuah Istana Kuning. Meskipun ada nama kuning, namun bangunannya khas warna kayu ulin, coklat kehitaman, dan menyimpan sejarah panjang tentang kejayaan masa lalu.

SITI NUR MARIFA, Palangka Raya

NAMANYA Istana Kuning  atau yang lebih dikenal dengan nama aslinya Istana Indera Sari Bukit Indra Kencana. Di balik tembok-teboknya yang penuh ukiran melayu, ada satu sosok yang setia menjaga dan merawat peninggalan sejarah itu.

Gusti M Nasar Halil, seorang juru pelihara sekaligus keturunan langsung dari sultan ke-11 Kesultanan Kutaringin, Pangeran Ratu Anum Kusumayuda.

Di usianya yang sudah 44 tahun, Gusti Nasar bukan hanya bertugas sebagai penjaga fisik bangunan bersejarah itu. Tapi juga sebagai penjaga ruh, identitas, dan kisah panjang Kesultanan Kutaringin, satu-satunya Kerajaan Islam bercorak Melayu di Provinsi Kalimantan Tengah.

“Istana Kuning adalah pusat Pemerintahan Kesultanan Kutaringin setelah pindah dari Kotawaringin Lama pada tahun 1.806 oleh sultan ke-9, Pangeran Ratu Imanudin,” kata Gusti Nasar sambil menunjuk bangunan utama istana yang kini menjadi replika dari aslinya, Jumat (25/7/2025).

Gusti Nasar duduk bersila di lantai kayu istana. Matanya menerawang saat mengenang masa lalu. “Istana ini pernah terbakar hebat pada tahun 1986. Yang tersisa hanya tiang bendera di depan istana,” kenangnya pelan.

Kebakaran itu menjadi duka besar bagi keluarga kesultanan dan masyarakat setempat. Bangunan yang menyimpan sejarah lebih dari dua abad itu habis dilalap si jago merah. Namun seperti semangat para sultan terdahulu, istana itu tak dibiarkan sirna dimakan waktu.

Dengan semangat gotong royong, dan kepedulian dari berbagai pihak, replika istana dibangun kembali pada tahun 2000-2001.

Berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 2.000 meter persegi. Di dalamnya, masih terjaga dua bangunan khas Melayu, balai pehadiran sebagai ruang makan, aula yang bernama bangsal, dan Keraton Dalam Kuning, bekas tempat tinggal raja.

Di tengah ruangan, sebuah kereta kencana kuno terparkir dengan gagah. Dinding istana dihiasi kain bercorak kuning dan hijau warna khas kebesaran Melayu. Empat pucuk meriam buatan tahun 1.840 berdiri kokoh di sisi barat istana, seakan menjaga marwah yang diwariskan turun-temurun.

Meski bangunan telah berdiri kembali, bagi Gusti Nasar, keutuhan sejarah belum sepenuhnya pulih. Ia menyampaikan harapannya kepada pemerintah daerah dengan suara yang tenang namun tegas.

“Istana ini belum sempurna. Masih ada dua bangunan yang belum dibangun sampai sekarang. Harapan kami, pemerintah lebih memperhatikan ini. Termasuk kepada keturunan Kesultanan Kutaringin, agar tidak dilupakan,” harapnya.

Ia tidak meminta lebih. Hanya keadilan bagi warisan sejarah yang telah menjadi identitas daerah. Meskipun Istana Kuning kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan ikon sejarah Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, pengelolaannya tetap diserahkan kepada keluarga kesultanan, sebagai bentuk penghormatan pada asal-usulnya.

Menjadi keturunan sultan bukan perkara gelar, melainkan tanggung jawab. Gusti Nasar merawat istana bukan demi status atau ketenaran. Tapi karena cinta akan sejarah dan tanggung jawab sebagai pewaris kebudayaan. “Kami ingin masyarakat tahu bahwa ini bukan hanya bangunan. Ini adalah napas sejarah yang hidup. Tempat belajar, mengenang, dan merawat identitas bangsa,” ungkapnya.

Kini, ia terus membuka pintu istana bagi wisatawan, pelajar, peneliti, dan siapa pun yang ingin mengenal sejarah Kesultanan Kutaringin. Ia menjelaskan dengan sabar, memperlihatkan setiap sudut bangunan, dan menceritakan setiap simbol dan ukiran yang ada.

Istana Kuning bukan hanya simbol kejayaan masa lalu. Tapi juga jendela bagi generasi mendatang. Di sana, jejak Islam Melayu, kearifan lokal, dan nilai luhur leluhur masih hidup dalam tiupan angin yang menyusup di antara tiang kayu dan anyaman dinding.

Di tengah semua itu, Gusti M Nasar Halil tetap berdiri. Tidak hanya sebagai penjaga bangunan. Tapi juga sebagai penjaga martabat dan memori sejarah Kesultanan Kutaringin.

Dalam dunia yang serba cepat berubah, keberadaan seseorang seperti Gusti Nasar adalah pengingat bahwa sejarah bukan untuk dilupakan. Tapi untuk dirawat dan diwariskan.

“Selama istana ini berdiri, selama itu pula sejarah Kutaringin akan terus hidup,” akuinya sambil tersenyum di depan bangunan kuning yang terus bersinar meski pernah dilalap api. (ifa/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *