Feature

Menggenggam Harapan lewat Roti, Memberdayakan IRT

127
×

Menggenggam Harapan lewat Roti, Memberdayakan IRT

Sebarkan artikel ini
PACKING : Karyawan Roti Pondok sedang mempacking roti sebelum di edarkan, Rabu (6/8/25).FOTO IFA/PE

Kisah di Balik Kebakaran Asrama Ponpes Mamba’u Darissalam Mendawai

Di ujung Jalan Mendawai I, Kota Palangka Raya, berdiri bangunan sederhana yang nyaris tak mencolok. Dari balik temboknya, aroma roti matang menyeruak kuat. Inilah rumah produksi Roti Pondok, usaha mikro yang digagas Pondok Pesantren Mamba’u Darissalam, yang pada 26 Juli 2025 mengalami musibah kebakaran pada asrama putra, dan telah menjadi nafas tambahan bagi ibu-ibu rumah tangga (IRT) di sekitarnya.

BAGI sebagian orang, roti mungkin sekadar makanan ringan pengganjal lapar. Namun bagi Yesi (40), roti adalah jalan keluar dari ketidakpastian ekonomi. Dia duduk di lantai produksi, tangan terampilnya membungkus satu per satu roti ke dalam plastik bening.

Sebelum bekerja di pabrik roti yang merupakan usaha Ponpes Mamba’u Darissalam, dia hanyalah ibu rumah tangga biasa yang sepenuhnya menggantungkan hidup pada suami. “Dulu ya saya cuma di rumah, jaga anak, masak. Tapi sekarang, alhamdulillah, bisa bantu suami juga. Kalau kerja tiap hari, bisa dapat gaji setara UMR. Lumayan banget,” ungkapnya dengan senyum tanpa menghentikan tangannya bekerja, Rabu (6/8/2025).

Roti Pondok pertama kali diproduksi pada 7 Oktober 2024, dan masih berusia di bawah satu tahun. Namun perkembangannya cukup pesat. Awalnya, modal berasal dari pesantren sendiri. Melihat potensi dan dampak sosialnya, Bank Indonesia (BI) pun memberikan dukungan berupa oven dan mesin produksi, mendorong skala usaha menjadi lebih besar.

Yesi, yang dulu merasa tak punya keahlian apapun, kini menjadi bagian dari roda ekonomi yang berputar. Dia bukan sekadar membungkus roti, tapi juga membungkus harapan,

bahwa perempuan sepertinya bisa turut ambil bagian dalam menopang keluarga.

“Saya merasa dihargai. Di sini bukan cuma kerja, tapi belajar juga. Saya jadi tahu cara kerja, tahu nilai uang, dan yang paling penting, bisa bantu anak-anak sekolah,” ujarnya menahan haru.

Di dapur produksi, Imis, salah satu pengelola usaha, menyebut bahwa mereka memproduksi hingga 2.000 roti per hari. Dengan resep sederhana berupa terigu, gula, garam, mentega, ragi, telur, susu, dan kalsium propional, mereka menghasilkan tiga varian roti. Yaitru rasa keju, coklat dan original.

“Sebenarnya komposisinya standar. Tapi yang bikin beda itu semangat kami. Ini roti dari pesantren, tapi bisa dinikmati semua orang. Harapannya bisa jadi usaha mandiri, dan hasil bersihnya untuk pembangunan ponpes,” ujarnya.

Harga jualnya pun bersahabat. Di tempat produksi, harga partai hanya Rp 2.000 per buah. Jika menggunakan jasa kurir, harganya menjadi Rp 2.500. Sementara harga jual di warung atau toko-toko sekitar berkisar Rp 3.000. Usaha ini bukan hanya membantu ponpes, tapi juga membuka lapangan kerja bagi warga sekitar. Terutama ibu rumah tangga.

“Total pekerja kami ada 8 orang. Rata-rata ibu rumah tangga. Mereka bagian dari proses produksi dan pembungkusan,” tambah Imis.

Namun seperti banyak usaha kecil lainnya, Roti Pondok pun tak lepas dari tantangan. Salah satu yang paling terasa adalah hambatan distribusi. Sejak beberapa waktu terakhir, razia yang dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah membuat pengiriman ke wilayah Kereng Pangi terhambat.

“Biasanya setiap Rabu kami kirim 2.000 roti ke Kereng Pangi. Tapi sekarang tidak bisa lagi karena ada razia kendaraan. Padahal itu salah satu pasar utama kami,” keluh Imis.

Ketiadaan kendaraan operasional menjadi salah satu faktor penghambat utama distribusi. Saat ini pengantaran masih mengandalkan kendaraan pribadi yang terbatas kapasitasnya. Karenanya, pihak pengelola berharap pemerintah atau lembaga terkait bisa memberikan bantuan kendaraan khusus distribusi.

“Kami sudah ajukan permohonan mobil ke Bank Indonesia. Masih dalam proses. Mudah-mudahan bisa disetujui agar distribusi lebih lancar, bisa jangkau ke daerah-daerah pelosok,” ucap Imis penuh harap.

Meski tergolong baru, Roti Pondok kini sudah mengantongi izin resmi produksi rumah tangga (P-IRT) dengan nomor 2056271010273-30, yang baru keluar sekitar dua bulan lalu. Legalitas ini menjadi modal penting bagi mereka untuk memperluas jangkauan pasar, masuk ke toko modern, dan mengikuti pameran-pameran usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Bahkan kini, roti buatan pesantren ini sudah menembus berbagai wilayah lain. Seperti Pangkalan Bun, Kuala Kurun, dan Sampit. Dalam waktu dekat, mereka berharap bisa memperluas pasar hingga ke lintas kabupaten di Kalimantan Tengah.

Di balik kesederhanaannya, Roti Pondok adalah wajah nyata dari ekonomi kerakyatan. Usaha ini tidak hanya berorientasi pada keuntungan, melainkan juga pada pemberdayaan masyarakat. Terutama ibu rumah tangga yang selama ini kerap berada di garis belakang ekonomi keluarga.

Kini tinggal bagaimana semua pihak bisa turut serta mendukung. Karena jika usaha kecil seperti ini diberi jalan, bukan tidak mungkin ia akan tumbuh besar, menebarkan manfaat lebih luas bagi masyarakat. (ifa/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *