Kalangan DPRD Kalteng Berikan Solusi
PALANGKA RAYA – Kalangan DPRD Kalteng dari Komisi II, Fajar Hariadi sangat prihatin dengan kesejahteraan petani sawit, khususnya di Kalteng yang terancam gulung tikar, karena ‘terjun bebas’nya harga tandan buah segar (TBS) sawit yang kini Rp. 800 per ton.
Saat dibincangi, kader Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kalteng ini menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya harga TBS ke angka dibawah Rp 1000.
“Berdasarkan pengamatan saya, hal ini dikarenakan ada faktor beban pajak ekspor, pungutan dan flush out yang terlalu besar atau tidak wajar. Perhitungannya yakni 55 persen dari harga jual yaitu Rp.11 juta/ton dibagi Rp.20 juta/ton kemudian dikali 100 persen, dari harga CPO global, tentu ini berdamak pada petani kecil.
Dimana pajak pungutan yang berlebih akan membangkrutkan secara massal petani itu,” katanya.
Alhasil, banyak perusahaan pabrik kelapa sawit (TKS) terancam tidak beroperasi karena tidak menerima TBS dari petani.
“Ini juga disebabkan harga TBS hanya Rp 800/kg, padahal sebelum kebijakan stop ekspor harganya Rp 3.800 per kg. Jadi petani tidak menjual TBSnya. Bila melihat dari negara tetangga, yakni Malaysia, harganya diangka Rp 5.000 an/kg. Bahkan infonya banyak TKI dari Indonesia bekerja di kebun sawit negara tersebut,” ucapnya.
Lanjutnya, perusahaan kebun sawit juga akan terancam gulung tikar karena terlalu beratnya syarat ekspor. Yakni, pajak ekspor bea keluar US $ 288 per ton, pungutan ekspor oleh BPDPKS US $ 200 per ton dan Flush out US $ 200 per ton.
“Jadi jika ditotal yang harus dibayar yakni US $ 688 atau setara Rp 11 juta/ton. Padahal harga CPO global hanya US $ 1.380 setara Rp 20 juta per ton. Jika dipotong pajak pungutan dan flush out Rp 11 juta per ton, maka tinggal Rp 9 juta per ton, di Pelabuhan. Kemudian ditambah biaya kirim dari perusahan kebun sawit dan biaya lainnya. Bahkan hari ini 28 Juni 2022 harga CPO Rp 7 juta per ton (KPBN). Kondisi ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Kesempatan emas, harga cantik di pasar global tanpa dimanfaatkan dengan bijak,” jelasnya.
Lanjutnya, kondisi tersebutlah yang membuat harga sawit di Indonesia terjun bebas. Padahal, ungkap Fajar, biaya produksi sejak perang Rusia Ukraina ialah Rp 1,8 juta per ton.
“Artinya petani menderita kerugian Rp.1 juta per ton. Dampaknya, kesejahteraan petani sawit terancam sumber pangan dan biaya sekolah anak – anaknya. Saat Presiden Joko Widodo semangat mencari investor, tapi petani investor massal dikecewakan,” ucapnya.
Dirinya juga menyampaikan, beberapa solusi yang bisa diterapkan pemerintah Indonesia saat ini.
“Solusinya yakni, rantai pasokan TBS perlu dipahami. stok CPO yang ada harus dikuras cepat dengan cara ekspor, untuk mengisi CPO baru dari pohon sawit petani yang tidak dipanen karena harga murah, selain itu agar tidak busuk,” ucapnya.
Kemudian agar eksportir bergairah, maka pungutan pajak di normalkan, yakni maksimal Rp 4 juta/ton. “Bukan lagi Rp 11 juta per ton. Agar harga CPO pasca pungutan Rp 16 juta/ton. Otomatis harga TBS Rp 3.000 per kg (Rp 3 juta/ton) karena rendemen lazim 20 persen. Bukan Rp 800.000 per ton. Sehingga petani dapat laba, eksportir bergairah dan negara dapat pendapatan pajak maupun devisa. HPP dan mekanisme pasar ini penting dipahami,” tutupnya. (rul/abe)