Feature

Terjaring Satpol PP di Jakarta, Akhirnya Kembali ke Palangka Raya

80
×

Terjaring Satpol PP di Jakarta, Akhirnya Kembali ke Palangka Raya

Sebarkan artikel ini
PULANG: Tim Dinas Sosial dan Suster Kristina Fransiska dari Yayasan Caritas Indonesia mengantar Almijan ke kediaman keluarganya di Jalan Pelatuk 7, Palangka Raya, Kamis (26/6/25) lalu. FOTO PE

Kisah Almijan yang Hilang Selama Enam Tahun

Setelah enam tahun hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian di Jakarta, Almijan akhirnya bisa menghirup kembali udara kampung halamannya di Palangka Raya. Kepulangan yang penuh haru ini bukan sekadar perjalanan fisik, tapi sebuah perjalanan batin melewati waktu, trauma, dan harapan.

DI sudut sepi Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3, Daan Mogot, Jakarta Barat, Almijan menjalani hari-harinya dalam diam. Wajahnya datar, tatapannya sering kosong. Namun jauh di dalam dirinya, ada satu mimpi yang tak pernah padam. Yaitu pulang ke rumah keluarganya. “Saya ingin pulang,” begitu kata yang kadang meluncur lirih dari mulut Almijan, meski tanpa kepastian kapan itu akan terjadi.

Enam tahun lalu, Almijan tiba di Jakarta. Tak banyak yang tahu alasan pasti ia meninggalkan Kota Palangka Raya. Tapi nasib membawanya ke jalanan ibu kota. Di Terminal Kramat Jati, Jakarta, ia terjaring razia Satpol PP. Kemudian dititipkan di panti sosial. Di sanalah identitasnya hilang, dan kehidupannya perlahan kabur dari pandangan banyak orang. Bahkan keluarganya sendiri.

“Saat ditemukan, Almijan tidak membawa identitas apapun. Ia berpindah dari satu panti ke panti lain,” jelas Suster Kristina Fransiska dari Yayasan Caritas Indonesia, yang sejak beberapa waktu terakhir menjadi pendamping Almijan.

Suster Kristina mengenang betapa sulitnya membangun kembali rasa percaya dalam diri Almijan. “Saya tahu tidak mudah baginya percaya ini benar-benar terjadi. Bahkan saat saya bilang, ‘Saya akan antar bapak pulang’, beliau seperti masih belum yakin,” katanya.

Selama tinggal di panti sosial, Almijan rutin mendapatkan pengobatan untuk gangguan kecemasan dan tekanan mental.  “Obat itu membantunya bertahan,” ungkap Suster Kristina. Tapi lebih dari obat, yang Almijan butuhkan adalah kejelasan dan rasa diterima.

Kepala Dinas Sosial Kota Palangka Raya, Riduan, menyebutkan pihaknya telah menerima kabar soal Almijan sejak beberapa waktu lalu dari pihak keluarga yang tengah mencarinya.  “Kita melakukan penelusuran, dan pihak Caritas Indonesia merespons. Dari sanalah titik terang mulai muncul,” ungkapnya kepada Palangka Ekspres, Rabu (2/7/2025).

Meski secara administratif Almijan adalah penduduk Jakarta, asal-usulnya adalah dari Palangka Raya. Menurut Riduan, dalam prinsip kerja sosial, tanggung jawab pengembalian warga yang terlantar berada di tangan daerah tempat warga itu ditemukan. “Tapi dalam kasus Pak Almijan, kami tidak bisa tutup mata. Ini soal kemanusiaan,” ungkapnya.

Hari itu akhirnya tiba. Almijan dijemput oleh Yayasan Caritas Indonesia dan didampingi menuju Bandara Seokarno-Hatta menuju Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya.

Dinas Sosial sudah menanti di pintu kedatangan. Wajahnya tak banyak berubah. Masih tenang. Tapi kali ini dengan sedikit binar yang tidak ada sebelumnya. “Pak Almijan langsung kami antar ke rumah keluarganya di Jalan Pelatuk 7. Dia dipertemukan dengan kakak dan adiknya. Suasana sangat mengharukan,” ujar Riduan.

Pemerintah Kota Palangka Raya tak berhenti sampai di situ. “Langkah berikutnya kami akan memproses mutasi kependudukannya, membuatkan BPJS, dan melanjutkan pengobatan serta terapi yang selama ini dijalani di panti,” jelasnya.

Setelah bertemu kembali dengan keluarganya, peluang itu ada. Ia akan tinggal bersama kakak atau adiknya dalam satu Kartu Keluarga (KK). Hidupnya mulai ditata kembali.

Kisah Almijan bukan kisah tunggal. Ia mewakili suara mereka yang terlantar, kehilangan arah, namun diam-diam menyimpan harapan untuk kembali. Di tengah sistem birokrasi yang sering kaku, hadirnya manusia-manusia seperti Suster Kristina dan Riduan menjadi lentera kecil yang menyinari lorong panjang pemulihan.

Dan hari ini, Almijan duduk di beranda rumahnya di Palangka Raya. Diam, namun tidak lagi sendiri. Mimpinya bukan lagi sekadar mimpi. Ia telah pulang dan hidup bersama keluarganya. (ifa/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *