/

Biaya Keperluan Sekolah Dianggap Beban

Plt Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalteng, Herson B. Aden
Plt Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalteng, Herson B. Aden

Herson B. Aden: Solusinya Anggaran Tambahan dari Pusat

PALANGKA RAYA – Tak segelintir masalah dari kecurangan sistem zonasi PPDB, rupanya masih ada lagi dilema di satuan pendidikan. Plt Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalteng, Herson B. Aden mengungkapkan dilema ini muncul ketika siswa mulai diterima di sekolah pilihannya.

Pihak sekolah akan berhadapan langsung dengan orang tua wali dalam keperluan sekolah dan biaya yang diterima. Seperti perlengkapan seragam di masa pendaftaran ulang.

Herson mengatakan, yang menjadi titik persoalan terletak pada anggapan siswa maupun orang tua walinya bahwa sekolah melakukan pungutan biaya yang tak seharusnya.

“Padahal, niat baik sekolah untuk mengkoordinir memesan baju dan lambang yang memang tidak ada di pasaran. Tapi, setelah dijumlah harganya dirasa mahal, ada pihak tertentu seolah mengatakan sekolah melakukan pungutan,” ungkapnya.

Selama ini, koperasi sekolah hanya membantu menyediakan perlengkapan guna memudahkan para siswa ketimbang beli diluar dengan harga yang bervariatif dan lain hal.

“Sekolah inginnya perlengkapan disediakan supaya anak-anak bisa mendapatkan lebih murah karena biasanya dengan jumlah banyak dapat potongan dibandingkan beli sendiri,” terangnya.

Lanjut Herson, niat sekolah tersebut justru kerap disalahartikan seolah memberatkan para orang tua. Untuk itu, Herson menilai persoalan ini perlu diluruskan sebagaimana mestinya.

“Nah, ini yang harus kita cari titik persoalannya agar jangan ada lagi anggapan demikian. Memang sudah saatnya kita ini semua gratis. Kalau APBD kita meningkat bisa dimungkinkan membeli seragam gratis,” ujarnya.

Lain halnya pada biaya pungutan Bantuan Pelaksana Pendidikan (BPP). Herson menjelaskan, bahwa biaya ini disepakati orang tua siswa berupa komite yang digunakan untuk membantu pelaksanaan pendidikan di tiap sekolah dengan jumlah yang bervariasi tergantung kesepakatan.

“Ini sudah disepakati oleh orang tua dan murid tetapi dalam perjalanannya ada lagi orang tua yang merasa ini jadi beban,” ucapnya.

“Sekolah bisa meminta bantuan dengan orang tua sepanjang mereka mampu. Namun, jika tidak berkemampuan maka tidak boleh dipungut apalagi dia punya kartu sebagai masyarakat miskin,” imbuhnya.

Herson mengutarakan, terkadang pihak sekolah tidak melihat secara menyeluruh apakah siswanya betul-betul tidak mampu atau berkemampuan sehingga perlu diperhatikan kembali.

“Kadang sekolah ingin terjang terus, harusnya ini dilihat apakah betul-betul tidak mampu. Tetapi, secara psikologi anak-anak ini juga tidak mau dibilang sebagai orang yang kurang mampu karena malu, kan ini jadi menyusahkan mereka. Akhirnya sekolah menganggap anak ini berasal dari keluarga yang mampu,” beber Herson.

Herson menegaskan, ketika siswa dinyatakan tidak mampu maka pihak sekolah harus dapat memutuskan segera hingga siswa diberikan BPP secara gratis.

“Apabila dia sudah terlanjur mengisi diawal membayar sekian, silahkan buat surat pernyataan tidak mampu dan catat berapa uang yang mampu dibayarkan,” tegasnya.

Herson mengharapkan, dengan adanya BPP gratis dan sebagainya, maka cara ini mampu meningkatkan kualitas hasil pendidikan sehingga bisa linier dan lebih baik sebab tidak ada beban yang mempengaruhinya.

“Saya akan undang semua kepala sekolah untuk mencari solusi. Dan sebenarnya solusi yang terbaik adalah pemerintah menyiapkan anggaran tambahan pendamping dana BOS dari pusat,” tandasnya. (fit)

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.