Semarak Festival Keriang Keriut

Semarak Festival Keriang Keriut
GETEK HIAS : Seorang anak sedang melantunkan ayat suci Al-Quran diatas getek hias yang melintasi panggung panitia. (FOTO : FIT/PE)

PANGKALAN BUN – Suasana malam minggu yang berbeda di Jembatan kuning bantaran sungai Raja Sebrang, Sabtu (30/3). Banyak warga berdatangan menyaksikan kemeriahan penutupan dalam gelaran Festival Keriang Keriut.

Malam kian larut menunjukkan pukul 21.30 WIB. Tiba saatnya belasan peserta getek hias bergiliran melintasi panggung panitia. Terhitung sebanyak 14 peserta menggunakan perahu jenis klotok atau disebut getek. Warna kelap kelip lampu hias dan cahaya obor saling melengkapi. Sahutan kembang api petasan di langit malam turut menyemaraki perlombaan.

Diselenggarakan oleh Kelurahan Raja Sebrang, festival yang dimulai dari tanggal 27 – 30 Maret 2024 ini tidak kehilangan antusias penonton demi mendukung peserta kebanggaannya. Perlombaan yang diikuti oleh anak-anak hingga dewasa tersebut diantaranya, ada hapalan surah pendek, bintang vokal islami dan ditutup perlombaan getek hias lampu dan obor bertema islami.

Nama Keriang Keriut terdengar asing bagi yang belum mengetahui makna dibaliknya. Lurah Raja Sebrang, Yaumil Bahsin menuturkan, kata orang tua dahulu bahwa dua kata Keriang Keriut diambil dari suara serangga yang datang di saat lampu obor hidup.

“Nama Keriang Keriut diambil dari gerakan api obor atau lampu minyak yang bergoyang ketika ditiup angin. Sering disebut warga dengan bahasa lokal  Keriang Keriut. Saat lampu obor hidup, datanglah serangga berbunyi melengking kariangan menyambangi lampu obor,” tuturnya.

Sudah kedua kalinya festival ini diadakan sejak tahun 2022. Diangkat dari tradisi masyarakat pinggir sungai di jaman dulu ketika bulan ramadan. Festival Keriang Keriut yang berlangsung selama 5 hari 4 malam mampu menghidupkan kembali momen keseruan di masa silam.

“Pelaksanaan festival ini dimaksudkan untuk menjaga tradisi budaya masyarakat bantaran sungai sebrang. Dahulu belum teraliri listrik sehingga hanya menggunakan lampu obor dan sejenisnya,” imbuh Yaumil.

“Dengan berkembangnya jaman, akhirnya sekarang ini sudah tergantikan lampu yang teraliri listrik. Namun, kita tetap ingin membawa makna yang sama sekaligus mengingat masa lalu, menghidupkan tradisi orang terdahulu,” tambahnya demikian. (fit/nur).

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.